Kamis, 13 Januari 2011
Kasus robohnya papan reklame yang terjadi di Surabaya,  salah satu lokasinya di Hotel JW Marriott turut  memberikan kritikan terhadap tim reklame yang kinerja patut dipertanyakan. Banyaknya papan reklame yang tersebar di setiap jalan raya, setiap gedung-gedung tinggi juga pada setiap lokasi-lokasi lainnya yang strategis. Dari ribuan papan reklame yang tersebar di Surabaya, ternyata hanya sekitar 550 reklame yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sehingga muncul pertanyaan banyak reklame di kota Surabaya ternyata tidak ber-IMB sehingga dikemanakan saja PAD dari papan reklame selama ini ??
Wajar saja bila banyak dari papan reklame di surabaya tidak layak, banyak yang ambruk bahkan memakan korban jiwa dikarenakan tidak sesuai dengan standart yang telah ditetapkan. Sudah dirugikan lewat PAD Surabaya juga lewat korban jiwa yang didapat dari hasil papan reklame yang tidak ber-IMB. Wajar pula bila Pemkot menaikkan biaya retribusi papapn reklame dengan alasan utama pemkot menaikkan tarif retribusi sebesar 95 persen tersebut sebagai upaya penataan reklame yang selama ini dinilai kurang maksimal.
Memang sudah saatnya penataan terhadap papan reklame yang tersebar di Surabaya maupun kota-kota besar lainnya di Indonesia segera dilakukan. Selain merusak keindahan akibat tata letak papan reklame yang sembarangan, papan reklame yang tak ber-IMB ikut merugikan lewat APBD.
Adapun saya sebagai penulis melihat harus adanya penataan yang didukung oleh pemerintah juga swasta sebagi pengguna reklame dapat memberikan warna baru dalam penataan reklame di Surabaya maupun kota-kota besar lainnya.
·       
Penaikkan Tarif Papan Reklame
Pemkot Surabaya akan melakukan hal ini dengan tujuan memberikan PAD yang cukup besar dari tarif retribusi ini, selain itu juga dapat menjadi sistem pengendalian pemasangan Reklame. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah ketegasan dari Pemerintah Kota Surabaya untuk tegas terhadap oknum-oknum yang merugikan dengan mengijinkan reklame yang tidak ber-IMB bebas tersebar.
·          
Memberikan insentif bagi para pemasang papan reklame yang unik.
Pemerintah Kota bekerja sama dengan pihak swasta dalam hal ini Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) untuk memberikan insentif bagi pengguna papan reklame yang unik sehingga dapat menambahan keindahan kota (menjadi land mark). Selama ini papan reklame berlomba-lomba dalam ukuran sehingga informasi yang ditampilkan menjenuhkan, sehingga dengan adanya ide-ide kreatif dapat menjadikan papan reklame menjadi daya tarik sendiri.
Seperti hasil pencarian saya di internet dapat menjadi salah satu contoh:



 








·        













Penetapan dan penegasan lokasi-lokasi yang diperuntukkan untuk pemasangan reklame. 
Hal ini bertujuan agar pemasangan papan reklame sesuai dengan arahn yang telah ditentukan dan tertata. Namun sering kali hal ini menjadi suatu yang sulit dikarenakan pengawasan yang kurang dan adanya oknum-oknum yang nakal sehingga bermunculan papan reklame yang ilegal.  Selain itu adanya pemasangan tanda larangan yang jelas pada kawasan yang berpotensi menjadi tempat pemasangan reklame yang ilegal. 

·         Pemberlakuan reklame berjalan guna mengurangi bertambah banyknya papan reklame yang ilegal.
Reklame berjalan disini dimaksudkan pada adanya sarana berupa mobil khusus yang difungsikan sebagai reklame yang berjalan. Hal ini dapat menjadi terobosan baru karena sangat berpotensi dalam menyampaikan informasi lebih jauh karena sifat dari reklame berjalan ini lebih mobile. Namun untuk pelaksanaannya butuh pengkajian yang lebih dlam lagi terkait rute dari reklame berjalan ini.

Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah tindakan seseorang ataupun golongan yang  mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain  tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi. Dalam kasus ini adalah dampak dari semburan lumpur panas Sidoarjo yang mengakibatkan kerugian besar berbagai pihak hingga triliunan rupiah, sehingga berdampak negatif  terhadap kegiatan lainnya akibat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh  semburan lumpur panas.
Masyarakat menderita kerugian secara langsung yang amat besar seperti kerusakan aset dan infrastruktur disebabkan dampak langsung dari tragedi ini. Total tragedi lumpur Lapindo sebesar Rp5.1 Triliun dengan  kerugian yang dialami oleh masyarakat , kerugian Usaha Swasta, BUMN, PDAM, Kabupaten Sidoarjo dan kerugian yang dialami oleh kontraktor pelaksana. (sumber: hasil audit BPK). Kemudian, tragedi Lumpur lapindo berdampak kepada perekonomian Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur dan wilayah sekitarnya. Dampak tersebut dapat berupa hilangnya sumber-sumber pendapatan masyarakat, pemerintah daerah/pusat dan dunia usaha antara lain rusaknya lahan pertanian, pertambakan, pabrik dan peralatan yang dimiliki oleh dunia usaha. Jumlah potensi kehilangan pendapatan mencapai  untuk setiap tahun sebesar Rp71.3Triliun. Kerugian secara langsung yang dialami oleh masyarakat seperti kerusakanaset dan infrastruktur yang diperkirakan mencapai sebesar Rp.5,1 Triliun, dan PT LBI diperkirakan baru mengeluarkan Rp.1 Triliun untuk menganti kerusakan aset dan infrakstuktur tersebut. Dan kekurangan ganti rugi terhadap kerusakan aset dan infrastrukutur publik sepertinya sudah dialih atau dibebankan kepada pemerintah.
Instansi yang terkait Dalam kasus ini pihak yang terlibat terbagi menjadi produsen dan konsumen serta pemerintah (seharusnya) sebagai mediator. Produsen disini adalah PT Lapindo Berantas Inc. yang menjadi pihak yang menyebabkan terjadinya lumpur panas, sedangkan Konsumen disini adalah pihak yang terkena dampak dari aktivitas produsen yaitu masyarakat dan pihak-pihak lain yang mengalami kerugian seperti yang dijelaskan diawal. Sedangkan mediator disini yang dilakukan oleh pemerintah adalah membuat peraturan terkait permasalahan lumpur lapindo ini.
Dalam kasus lumpur lapindo ini permasalahan yang terjadi adalah ketidakadilan. Terlihat biaya ganti rugi yang seharusnya semua dibebankan kepada PT LBI ternyata dapat berubah menjadi tanggungan negara lewat APBN setelah keluarnya  Peraturan Presiden No.14 tahun 2007 Tanggal 31 Maret 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani  luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infranstruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan anggaran berasal dari APBN. Sebelumnya seluruh ganti rugi dibebankan kepada PT LBI melalui Keppres No. 13 tahun 2006, namun karena kekuatan politik yang kuat sehingga peraturan tersebut dapat berubah. 
Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama perumusnya yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat.  Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Dengan menggunankan teorema tersebut seharusnya kesepakatan bersama anatara  pihak-pihak yang bersangkutan menjadi perioritas utama dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Pada kasus ini yang sangatlah dirugikan adalah masyarakat seharusnya ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat haruslah secara penuh dan menjadi tanggungan PT LBI, tidak seperti yang kita lihat sekarang ini masih banyak biaya ganti rugi yang belum di selesaikan. Berbanding terbalik dengan keadaan financial PT LBI yang berlimpah melalui anak-anak perusahaan PT LBI, namun tidak dapat mengganti biaya ganti rugi. Dan mirisnya lagi biaya ganti rugi pun harus ditanggung sebagian oleh negara melaui APBN. 

Seharusnya kesepakatan bersama antara pihak yang dirugikan yaitu masyarakat dengan PT LBI haruslah dilaksanakan dengan seadil-adilnya dengan intervensi dari pemerintah kepada PT LBI untuk melakukan biaya ganti rugi, bukannya memberikan kemudahan bagi PT LBI yang jelas bersalah melalui Keppres.

About Me

Foto Saya
orajjo
trust me, it work!!
Lihat profil lengkapku

Followers